16 Desember 2010

Ketika Aku Melihatnya Menangis

oleh Ummi zahid Jumat, 19 Sep 2008
Setelah lima tahun perjalanan usia pernikahan kami, jelang shubuh hari ini, kali pertama aku melihat suamiku menangis, terisak dan berlinang air mata.
Haru…

Setelah lima tahun perjalanan usia pernikahan kami, jelang shubuh hari ini, kali pertama aku melihat suamiku menangis, terisak dan berlinang air mata. Tak pernah kulihat sebelumnya dia menangis, pun ketika shalat malam atau ketika Allah sedang menguji kami. Aku hanya akan mendengar parau suaranya atau isak sesaat saat berdua berjama’ah mengisi malam dengan Qiyammul Lail, tidak seperti saat imsak menjelang shubuh ini, sungguh aku melihatnya menangis. Ya, suamiku sosok yang sederhana dan bersahaja itu menangis.
Pembicaraan berawal dari kesulitan-kesulitan yang sedang dialami orang tua kami lengkapnya orangtuaku atau mertuanya, saat ini berkaitan dengan masalah keuangan. Hutang-hutang yang melilit dan diminta untuk segera dilunasi. Sebenarnya aku diminta tidak menceritakan masalah ini ke suamiku, tapi karena aku dan suami telah saling berkomitmen untuk saling terbuka dan tidak memendam suatu masalah atau perasaan sendiri saja, akhirnya aku bercerita juga.
Ketika aku ceritakan masalah tersebut ke suamiku, aku mendapatkan jawaban yang tak kuduga sebelumnya. Dia meminta agar THR (Tunjangan Hari Raya) yang baru kami dapat agar ada yang dikirim untuk dapat membantu walaupun tidak dapat menyelesaikan semua hutang orang tuaku. Jujur saja, aku belum terfikir kearah sana, karena menjelang hari raya ini begitu banyak pengeluaran dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Belum lagi biaya untuk mudik ke Jakarta karena kami tinggal di pulau Sumatra yang tentunya akan menghabiskan lembaran-lembaran rupiah yang tidak sedikit.
Ada kata-kata mengalir dari lisannya yang seakan menohok ruang dadaku. “ Orang tua tidak perlu tahu kesulitan-kesulitan kita di sini. Coba ummi bayangkan itulah akhlak Rosulullah SAW. Betapa Beliau tidak membiarkan harta yang didapat kecuali hanya mampir sebentar di rumah tangganya. Beliau susah, tapi di balik kesusahan itu ada tujuan yang jelas yang akan dituju. Ridho Allah.”
Ketika kukatakan jumlahnya cukup besar sehingga akan membuat orang tua mencari pinjaman lain untuk menutupi hutang yang ada.
Katanya: “ Setidaknya kita bisa sedikit membantu dan mengurangi jumlah pinjaman kalaupun akan berhutang lagi. Ingat, saat ini kita sedang pegang uang walaupun kita sedang butuh. Tapi saat ini hak uang yang utama adalah untuk membayar hutang karena memang harus dibayar apalagi jika sudah berhubungan dengan masalah orang tua. Hutang dengan institusi pastinya berkenaan dengan bunga, tapi jika hutangnya dengan perorangan selain bunga ada perasaan di sana.”
“ Coba ummi bayangkan lagi, bagaimana sahabat-sahabat Rosulullah SAW, Abu Bakar r.a contohnya, mengikhlaskan harta bendanya dijalan Allah dan hanya meninggalkan Allah dan Rosul-Nya untuk keluarganya. Kita belum sampai ke sana Mi, jauh..sangat jauh” katanya dengan suara mulai parau.
 “ Apalagi ketika…ada pembagian ghonimah perang dan ternyata sebagian besar ghonimah itu diberikan kepada kaum Muhajirin sehingga… sahabat Anshor sempat bertanya-tanya dan Rosulullah yang mulia berkata..” katanya mulai terisak.
“ Apakah kalian merasa tidak cukup ketika setelah peperangan mendapati Rosul kalian pulang bersama kalian…” Dan diapun menangis..

Aku hanya dapat menatap sosok yang aku cintai didepanku menangis, tersedu, berlinangan air mata. Tanpa sadar air mataku mengalir. Menangis karena melihatnya menangis dan menagis karena kata-katanya yang mengingatkanku ketika diri ini mulai silau pada dunia.
Aku terus menatapnya sampai akhirnya tangisnya terhenti seiring lantunan adzan Shubuh yang memanggilnya untuk shalat berjama’ah dimasjid.
Ba’da shubuh ku termenung…Ya, seorang mukmin harus menganggap harta sebagai sarana, bukan tujuan. Ia membuktikan kebenaran imannya dengan mencari harta secara halal,menginfaqkannya sejalan dengan aturan Allah, dan berderma untuk mendapatkan keRidhoan Allah. Karena itu, ia berusaha menguasai harta untuk menjaga kehormatan, mempermudah melakukan kebajikan dan menghapuskan diri dari berbagai kekeliruan. Meski demikian seorang mukmin harus waspada terhadap harta dan selalu mengontrol kecenderungan hati terhadapnya.
Sebab, harta adalah salah satu ujian untuk mengukur kualitas keimanan.

Semoga Ramadhan kali ini mengajarkan aku menjadi seorang mukmin yang tawadhu’ kepada Allah SWT dan sesama. Amin.
source : eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar