27 Februari 2011

Maukah Kamu Menikahiku

Gadis itu datang dengan segenap rasa yang mengaduk-aduk hatinya. Perlahan ia menghampiri pria itu, seorang pria yang gagah lagi tampan, serta idola orang-orang. Malu pun kian membuncah di dadanya dan makin meronai wajahnya, ia berkata, “Aku menyerahkan diriku padamu..“
Siapa gadis itu dan siapa pria itu? Jangan salah paham, penggalan cerita di atas bukan diambil dari novel remaja  dan bukan pula dari cerita roman, apalagi cerita “17 tahun ke atas”. Penggalan cerita di atas bukan fiktif, itu kisah nyata yang dinukil oleh orang-orang mulia nan jujur. Tahukah Anda siapa gadis itu dan siapa pria itu? Gadis itu adalah seorang shahabiyah*, sedangkan pria itu adalah seorang pemimpin bagi kaumnya, dan selain kaumnya, bahkan pemimpin para utusan ilahi, pemimpin umat manusia, pemimpin makhluk Allah sejagat alam, yaitu Nabi kita Muhammad صلى الله عليه وسلم . Kelanjutan kisah di atas bisa dilihat di Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Ada apa antara shahabiyah itu dengan Nabi kita? Dia mendatangi beliau untuk menawarkan dirinya untuk dinikahi! Lho memang boleh wanita “agresif” seperti itu?  Tentu saja boleh, karena siapa yang melarang wanita untuk “agresif” dalam hal ini? Begitu sangat berdosakah kalau wanita “seagresif” ini? Kalau itu memang perbuatan dosa dan pelanggaran terhadap syariat islam, tentu Rasulullah صلى الله عليه وسلم akan menegur shahabiyah tersebut dan beliau juga tentunya akan menjelaskan larangan tentang hal itu kepada para sahabatnya, sebagaimana kebiasaan beliau tatkala menyaksikan kesalahan yang dilakukan beberapa sahabatnya. Akan tetapi, dalam kasus di atas, ternyata  tak ada sepatah kata pun yang keluar dari lisan beliau صلى الله عليه وسلم kepada shahabiyah tersebut apakah teguran, nasihat apalagi hardikan atas apa yang diperbuatnya. Sebab kelanjutan dari kisah di atas, setelah beliau memandanginya, beliau terdiam (karena tidak tertarik dengannya). Melihat gelagat seperti itu, sahabat yang ada di sisi beliau berkata dengan penuh semangat, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya, kalau engkau memang tak berminat dengannya. “ di akhir hadits, beliau pun menikahkannya dengan wanita tersebut.
Kalau begitu bukanlah aib dan bukan pula suatu yang dimakruhkan apalagi diharamkan bila seorang wanita menawarkan diri untuk dinikahi kepada pria yang ia pandang baik akhlak dan agamanya. Hanya saja, yang perlu digaris bawahi dan digaris atasi di sini yaitu kalimat untuk dinikahi. Boleh seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang pria untuk dinikahi, bukan untuk dipacari dan bukan pula dicandai apakah dengan alasan “ta’aruf”, “maslahat dakwah” dan lain-lain.
Seorang wanita memang diberi kelebihan, keistimewaan dan kemuliaan oleh Allah berupa sifat malu yang sangat dominan dalam perilakunya, akan tetapi apakah sifat malunya tersebut menghalanginya untuk menggapai kenikmatan yang disyariatkan Allah? Shahabiyah di atas mencontohkan kepada kita, betapapun lekatnya sifat wanita  pada dirinya dan betapapun besarnya rasa malu yang ada pada dirinya, itu tidak menghalanginya untuk mendapatkan apa yang dihalalkan untuknya oleh Rabbnya. Di satu sisi ia “nekat” dan “agresif”, akan tetapi di sisi lain ia adalah seorang shahabiyah yang tentunya lebih mulia, lebih suci hatinya, lebih banyak ibadahnya dan lebih menjaga kehormatan daripada wanita manapun, dan dimanapun setelah masanya. Ia termasuk deretan wanita-wanita terbaik umat ini, sangat jauh melampaui kita! Nabi kita bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku (Para sahabat dan shahabiyah) kemudian setelahnya (tabi’in) kemudian setelahnya(tabi’ut tabi’in). “ (HR. Bukhari Muslim).
Jadi termasuk cara yang diperbolehkan oleh  islam bagi wanita untuk mendapatkan jodoh adalah dengan menawarkan dirinya kepada pria yang disukainya. Dan itu termasuk bentuk ikhtiar yang diperbolehkan dalam islam. Sebab,  jodoh itu tidak bisa didapatkan hanya dengan menengadahkan tangan ke langit dan tidak cukup pula dengan menghiasi malam-malam dengan air mata yang terurai di tempat sujud. Sebab,  “langit itu tidak menurunkan hujan berupa emas”. Demikian kata mutiara dari sahabat Nabi yang mulia, yaitu ‘Umar bin Khaththab. Kata ini keluar dari lisannya tatkala menyaksikan seorang yang seolah-olah ingin mendapatkan rezeki akan tetapi ia hanya menyibukkan dirinya dengan ibadah di masjid dan tidak bekerja.
Demikian pula, untuk menggapai jodoh tak cukup hanya dengan mengandalkan kemampuan kita sendiri atau bantuan orang lain, tanpa mengingat bahwa di tangan-Nya lah jodoh seluruh makhluk. Bila Dia berkehendak untuk memberikan jodoh kepada seorang hamba, maka Dia akan memberinya  walaupun ia “lari” darinya. Sebaliknya,  kalau Dia tak menghendaki, maka  jodoh tak akan ia temukan meskipun ia berusaha mencarinya ke seluruh penjuru dunia, menembus laut, membelah gunung. Jodoh itu di tangan-Nya.
Oleh karena itu, dalam menjalankan segala usaha, di antaranya mencari jodoh, seorang muslim dan muslimah dituntut menjalankan dua hal : berikhtiar dengan mencari dan menjemputnya, kemudian bertawakkal kepada-Nya dengan berdoa dan menyerahkan hasilnya kepada-Nya.
Jadi jika seorang wanita telah mengerahkan segala usahanya untuk mencari jodoh (disamping dengan berdoa kepada Allah juga tentunya), entah dengan dijodohkan orang tua, atau dengan perantara comblang atau cara lainnya yang tidak melanggar syariat, akan tetapi belum pula mendapatkannya, kenapa tidak coba saja cara yang ditempuh shahabiyah di atas? Itu salah satu bentuk ikhtiar yang diperbolehkan, siapa tahu melalui sebab itu Allah mengantarkannya menuju pelaminan. Bukankah itu lebih baik daripada waktu memakannya hari demi hari?
Maka, tak mengapa, meskipun darahmu berdesir, hatimu bergetar, tubuhmu menggeletar, cobalah datangi pria saleh itu, katakanlah, “Akh/ Mas/ Bang/ Kang, maukah kamu menikahiku? “
--------------------------------------------------------------
*Shahabiyah adalah wanita yang hidup di zaman Nabi, pernah bertemu dengan beliau dan beriman  kemudian ia mati di atas islam. Shahabiyah itu dikategorikan sebagai sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang tentunya memilki keutamaan yang banyak lagi mulia dan itu telah banyak disebutkan dalam kitab-kitab aqidah.

24 Februari 2011

Saat cinta berpaling darimu

Apakah dia merasa putus asa ketika mengetahui bahwa gaji suaminya yang masih kuliah itu hanya 200 ribu sebulan? Apakah dia putus asa ketika mereka harus berpindah-pindah kontrakan dari satu rumah mungil ke rumah mungil yang lain? Apakah perempuan itu mengeluh, ketika berbulan-bulan hanya makan tempe dan sayur, yang masing-masing dibeli seribu rupiah di warung, ketika sang suami tak bekerja cukup lama? Jawabannya tidak. Perempuan berwajah manis, yang saya kenal itu sebaliknya selalu  terlihat cerah, seolah permasalahan ekonomi yang menerpa keluarga kecil mereka,  tak berarti apa-apa. 
Pun ketika kesulitan hidup terus berlanjut. Menjelang kelahiran anak pertama mereka, suami masih belum memiliki pekerjaan yang mapan. Tapi perempuan itu tidak putus asa. Sedikitpun dia tak menyesali telah menikah dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang dia cintai karena kecerdasan dan kegigihannya. Lelaki yang amat dia hormati, yang dia tahu selalu berupaya sungguh-sungguh untuk membahagiakan, dan membuatnya merasa seperti seorang putri. Dan kenyataan bahwa mereka tinggal di rumah kontrakan yang nyaris mau runtuh, dengan kamar mandi jelek, dan serangga di mana-mana yang kerap membuat menimbulkan ruam merah pada kulitnya yang putih. Perempuan itu tidak pernah sedikitpun mengeluh.

Lalu anak pertama lahir. Gagah, dengan alis tebal nyaris bertaut. Dia dan suami menerima kehadiran pangeran kecil itu dengan hati berbunga. Meski mereka harus berhutang ke sana ke mari agar biaya kelahiran yang melalui prosedur caesar itu, bisa dilunasi. Sekali lagi, perempuan itu tidak pernah mengeluh. Hidup baginya adalah rentetan ucapan syukur kepada yang kuasa, dari waktu ke waktu. Ketika anak kedua mereka lahir, roda ekonomi keluarga telah jauh lebih baik. Laki-laki yang dicintainya mendapatkan pekerjaan yang mapan. Mereka tak lagi bingung memikirkan kebutuhan sehari-hari, makan, lalu susu buat anak-anak.

Perempuan yang saya kenal sejak lama itu, membantu suaminya dengan bekerja paruh waktu bagi sebuah taman bermain anak-anak yang cukup prestise. Seiring kehidupan yang mulai membaik, perempuan itu tak lagi mengerjakan semua sendiri. Apalagi seorang buah hati lagi telah hadir. Sang suami memintanya lebih konsen kepada pekerjaan paruh waktu yang digeluti istrinya. Tahun ke empat pernikahan mereka mulai menyewa baby sitter, ketika itu si bungsu belum lagi berusia sepuluh bulan.

Lalu datanglah kesempatan bagi sang istri. Lembaga tempat dia bekerja paruh waktu, menawarkan program training ke luar negeri. Awalnya sang istri ragu, sebab dia khawatir meninggalkan anak-anak selama dua pekan. Tetapi lelaki yang dicintainya memberikan support dan mendorongnya untuk pergi. "Ini pengalaman bagus buat Ibu," kata lelaki itu. Dan ketika dia ingin membantah, lelaki itu menggelengkan kepalanya."Perempuan lain ingin mendapatkan pengalaman berharga seperti ini. Ibu harus pergi. Gak apa. Ada mbak yang menjaga anak-anak." Dengan setengah hati perempuan berwajah manis itu meninggalkan keluarganya. Selama dua pekan di sana dilaluinya dengan rindu yang menyiksa, dan perasan berat karena selalu terbayang anak-anak.

Naluri keibuannya rupanya tidak bisa dibohongi. Meskipun sang suami selalu berkata semua baik-baik saja, perempuan itu merasakan ada sesuatu yang terjadi. Dan perasaannya benar. Anak bungsu mereka dirawat di rumah sakit karena demam berdarah! Suaminya yang takut membuatnya panik baru menjelaskan ketika istrinya pulang ke tanah air.
"Maafkan ayah, ayah takut ibu bingung."
Perempuan itu menangis. Syukurlah kondisi putri mereka membaik Tapi ada hal lain yang terjadi. Hal yang tak pernah diduganya, hal yang membuat jantungnya luruh.

Suaminya jatuh cinta. Perempuan itu sungguh tak percaya, ketika mendengarkan ibu mertuanya menangis tersedu-sedu menjelaskan apa yang terjadi. Dunia bahagia yang selama ini dibangunnya seakan runtuh. Apalagi ketika mengetahu gadis cantik yang membuat suaminya jatuh hati, adalah baby sitter yang mereka sewa. Mereka hanya berpegangan tangan. Tak lebih. Elak suaminya. Tapi hati perempuan itu telanjur hancur. Harapan-harapan yang dibangunnya seakan menguap. Suaminya berpaling. Lelaki yang telah membuatnya merasa seperti seorang putri, jatuh cinta lagi. Allah... apa maksudmu dengan ini semua? Batin sang istri yang terkoyak. Dengan hati hempas, dia memanggil baby sitter mereka. Baru kali ini si perempuan memandang lekat-lekat gadis berusia sembilan belas tahun itu.

Meskipun dari desa, wajahnya memang cantik dan ayu. Kulitnya bersih, rambutnya yang panjang tampak  begitu mengilat. Dulu tak dikiranya kecantikan lugu itu akan memorakmorandakan rumah tangga mereka. Perempuan itu duduk berhadapan dengan baby sitter yang tertunduk salah tingkah. "Sudah sejauh apa?' Baby sitter itu mengelak. Tak mau berbicara lebih jauh. "Apakah kamu menyukai Bapak?" Baby sitter itu diam. Ragu. Lalu kepalanya pelan menggeleng. "Saya tak keberatan jika bapak menyukaimu, dan kamu menyukai bapak, Kalian bisa menikah!" Saya kaget. Saya berada di sana, menemani perempuan yang telah lama menjadi sahabat saya. Tetap saja kalimat terakhirnya mengejutkan saya. 

Si baby sitter cantik menggeleng. Lagi-lagi salah tingkah. Saat itu suami si perempuan sedang berada di kantor, sehingga mereka leluasa berbicara. Tidak jauh dari mereka, mertua sahabat saya tampak menangis sesenggukan. Sebaliknya wajah sahabat saya tampak sangat tegar.Ketegaran itu baru runtuh ketika kami hanya berdua. Sahabat saya menangis. Belum pernah saya melihat air mata sebanyak itu tumpah di wajahnya.

"Saya sedih," bisiknya, "Salahkah?" Saya menggeleng. Kesedihan adalah teman kemanusiaan. Tak apa. "Ibu tadi cerita, bahkan ketika Andin sakit, Ayahnya memilih menemani perempuan itu berobat, meski hanya flu biasa, dan meninggalkan Andin diperiksa hanya dengan ibu,"

Ah, lelaki begitu mudahkah larut dalam pesona? Saya kehilangan kata-kata. Percuma mengibur, apalagi berkata saya mengerti perasaannya. Saya tak ingin berbasa basi yang tidak perlu. Kehidupan berlanjut. Suami perempuan itu mengakui kesalahannya, dan berjanji tidak akan mengulangi. Lelaki itu memohon-mohon agar sang istri  mau memaafkannya. "Bisakah?" tanya saya suatu hari. Ketika itu tahun-tahun sudah berlalu begitu banyak. "Saya tidak tahu," jawab sahabat saya. Selalu dan selalu, matanya yang cerah meredup setiap teringat kisah itu. Barangkali memang ada beberapa luka yang tak bisa sembuh, bahkan oleh waktu. Enam bulan setelah kejadian itu, sahabat saya memang sempat bercerita perasaannya setiap kali suaminya mendekati. "Saya merasa jijik," ujarnya dengan wajah bersalah.
"Tak apa, semua perlu waktu. Lagian yang terjadi tidak sejauh itu. Jangan menyiksa pikiran,"
"Tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?"
Saya diam. Sahabat saya benar. Hanya suaminya dan si baby sitter yang tahu segala. Mereka terkadang pergi ke luar rumah berdua. Dulu terasa biasa saja mereka hanya ke warung, atau apotik. Entahlah.

Ketika saya meminta izin menuliskan cerita ini, sahabat saya mengiyakan, meski dia masih belum lagi sembuh dari kesedihan. Memang tidak ada perceraian. Sang suami tampak bersungguh-sungguh menjaga keutuhan keluarga mereka. Apalagi ada anak-anak diantara keduanya.

"Dia bapak yang baik!" papar sahabat saya suatu hari. Kehidupan memang terus berjalan. Satu peristiwa, satu hati yang berdarah. Satu hati yang belum juga sembuh. "Kami masih tidak bisa bersama," jelasnya.
Saya mengerti. Peristiwa itu seolah membekukan semua kehangatan dan keceriaannya sebagai seorang istri. Sang suami tak memaksa. Menjalani saja kehidupan apa adanya. Anak-anak lebih penting.

Entah sampai kapan mereka bisa bertahan, saya tidak tahu. Tak juga mau menduga-duga. Saya cukup senang akhirnya sahabat saya bisa mendapatkan kepercayaan diri yang sempat hancur ketika menyadari sosok perempuan yang telah merebut hati suaminya, tak hanya lebih cantik tapi juga jauh lebih muda. Perlahan sahabat saya mencoba melupakan apa yang terjadi. Padahal dunia sempat terasa berhenti baginya.

"Sampai saya sadar, Asma. Di luar sana, banyak pengalaman yang jauh lebih buruk, menimpa istri-istri lain. Apa yang terjadi pada saya, barangkali tak seujung kuku yang dialami perempuan-perempuan lain." Hubungan normal layaknya suami istri memang sudah patah, akan sulit merekatkannya kembali. Tapi saya mengagumi semangatnya mempertahankan pernikahan, dan tetap menjalaninya penuh syukur. Perempuan itu bahkan pasrah jika karena ketidakmampuannya sekarang, dikarenakan ulah sang suami, mungkin justru mengakibatkan sang suami menikah di belakangnya.

"Dulu hal itu perkara besar buat saya, tapi sekarang..." sahabat saya itu tertawa. Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan padanya. Apakah dia bahagia? Apakah suaminya bahagia? Kenapa tidak bercerai dan sama-sama memulai yang baru? Sebagian orang mungkin akan berpikir begitu. Hidup terlalu singkat untuk larut dalam ketidakbahagiaan. Betapapun saya menghormati komitmen keduanya. Juga perkataan sahabat saya, yang akan selalu saya ingat, "Ada hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak saya tidak. Dan saya harus bisa menjaganya. Sekuat saya."


by: asma nadia

Indahnya Istri Shalihah

Hari itu merupakan hari bahagiaku, alhamdulillah.
Aku telah menyempurnakan separo dienku: menikah. Aku benar-benar
bahagia sehingga tak lupa setiap sepertiga malam terakhir aku mengucap
puji syukur kepada-Nya.

Hari demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri
tercintaku. Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu
selalu mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Wajahnya yang
tertutup cadar, menambah hatiku tenang.

Yang lebih bersyukur lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus
meninggalkan istri untuk bekerja. Saat pergi dan pulang kerja,
senyuman indahnya selalu menyambutku sebelum aku berucap salam.
Bahkan, sampai saat ini aku belum bisa mendahului ucapan salamnya
karena selalu terdahului olehnya. Subhanallah.

Wida, begitulah nama istri shalihahku. Usianya lebih tua dua tahun
dari aku. Sekalipun usianya lebih tua, dia belum pernah berkata lebih
keras daripada perkataanku. Setiap yang aku perintahkan, selalu
dituruti dengan senyuman indahnya.

Sempat aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau
nanti ada yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu,
istriku langsung menangis dan memelukku seraya berujar, "Apakah Aa'
(Kakanda) tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?"

Aku pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba
keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil
darinya dan kami pun tertawa.

Sungguh, ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku
harus menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang
dikatakan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam, "Dunia hanyalah
kesenangan sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik
daripada istri shalihah." (Riwayat An-Nasa'i dan Ibnu Majah).

Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan.
Masya Allah.

Suatu malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku
yang tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia
menangis malam-malam begini.

Istriku hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku
peluk erat dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya
sekali lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika
dalam keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu.

Akhirnya, dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya.
Astaghfirullah… alhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia
mendengar alasannya menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga
bulan dan malam itu lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya
tapi takut aku marah jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih
malam-malam begini, dia tidak mau merepotkanku.

Demi istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam
kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus
mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun
mendapatkannya.

Awalnya, tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku
ceritakan apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung
menuju dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi
mie ayam permintaan istriku.

Ketika aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar,
"Nak, simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak
merasa bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku
utamakan."

Aku terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan
syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya
mengantar kepergianku.

"Alhamdulillah, " kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya
tukang mie itu. "Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita
syukuri, sungguh Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa
yang kita dan bapak itu lakukan malam ini," katanya. Aku pun
mengaminkannya. * (Kusnadi Assaini/Hidayatullah)

Setengah

cinta kita tak pernah sempurna
seperti kehidupan yang terus berjalan
yang berlari mencari kesempurnaan
tapi selalu saja tak sempurna

ketaksempurnaanlah yang membuat kita saling belajar
cinta kita biarlah selalu tak sempurna
karena sempurna hanya akan membuat kita terhenti
tak tahu harus menggelinding ke mana

ketaksempurnaan yang membuat kita saling melengkapi
membuat kita melangkah beriring
tanpa kita sadari
ketaksempurnaan membuat cinta menjadi sempurna

16 Februari 2011

Jejak

Aku masih lengang sebelum kau datang
Hanya ada sedikit lukisan buih
Dan segenggam desiran angin
Sesekali ada camar hitam yang melintas
Atau jejakan pemancing yang berharap kemurahanku menghantar ikan
Selebihnya tetap sama
Sunyi dalam keriuhan



Aku masih keras sebelum kau tiba
Garang menghempas kukuhnya beton abu-abu
Mengikisnya seiring hitungan waktu
Tak kenal arti kelembutan
Tak paham dengan makna sentuhan
Bahkan belum lagi mengerti ketegaran bukan berarti kesendirian



Lalu jejakmu menghampiri
Membentuk pahatan di antara ruang-ruang sunyi
Baru ku tahu rasanya tidak sendiri
Baru ku mengerti tegarku hanya ilusi
Dan kini, setelah kau sirna

Ku tau jejakmu
Menjadikanku takkan pernah sama lagi


K E R A N G

Kerang, bukan karang. Tidak berkaitan dengan pengarang. Juga dengan sastrawan. Apalagi esais atau budayawan. Jauh. 

Tidak perlu juga muluk2 dalam berpikir. Yang aku sebutkan tadi semata2 hanya kerang – terdiri dari susunan huruf2 sederhana, k-e-r-a-n-g, dan dibaca secara sederhana pula, menjadi ke-rang

Namun bila di antara kalian, ada yang belum juga mengerti apa dan bagaimana kerang yang kumaksudkan, baiklah, kugambarkan demikian. 

Dia seperti dua belahan batu karang, yang saling mengatup penuh keras kepala. Berwarna putih namun dengan sisik di bagian luarnya, seakan butiran garam yang masih tertinggal setelah bergesekan dengan buih laut yang asin. Sisiknya sendiri tidak lagi meninggalkan rasa asin, hanya goresan2 yang mampu menimbulkan rasa perih pada lembutnya jemari yang mencoba membuka cangkangnya. 

Kuku jemari yang telah ter-manicure rapi pun somplak. 

Jangan coba2 tanyakan makna kuku jemari yang telah somplak, karena hal itu sungguh menyakitkan. Dan mengapa aku menggunakan kata somplak, karena aku tidak lagi hendak memasung makna kata, yang terkadang dengan palang pasungannya, menjadikannya tidak lagi berpadanan makna yang serba nyata 

Di dalamnya kutemukan segumpal darah berwarna merah yang telah menjadi daging. Ada rambutnya yang berwarna hitam. Barangkali itulah mengapa mereka memanggilnya dara.

Dara …..

Cangkang bagian dalamnya halus dan berwarna putih, sehalus dan seputih kasih sayang yang didambakan makhluk manusia di hari2 mereka merayakan kasih sayang. 

Kini perayaan mereka tidak lagi putih. Di mana2 hanya warna merah, yang dipersembahkan dalam bentuk2 mawar penuh duri. 

Kasar kulit cangkang itu telah melukaiku. Membuat somplak kuku jemariku. Dan aku marah. Demikian tingginya kolestrol yang disumbangkannya padaku sehingga dengan cepat darahku naik hingga ubun2 kepala. 

Kulempar kerang yang tidak berhasil kubuka itu dari tanganku. Kerang itu menghantam lantai, masih tidak terbuka. Lalu aku menjadi semakin marah, …. dan menangis.



Ch1ll 

10 Februari 2011

Maka Nikmatilah, Karena Ini Pun Akan Berlalu

Saat di depanmu terhidang nasi sayur tahu tempe, mengapa mesti sibuk berandai-andai dapat makan ikan, daging atau ayam ala resto? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang ada tanpa berkesah, pastilah rasanya tak jauh beda. Karena enak atau tidaknya makanan lebih tergantung kepada rasa lapar dan mau tidaknya kita menerima apa yang ada.
 
Maka nikmatilah, karena jika engkau terus mengharap makanan yang lebih enak, makanan yang ada di depanmu akan basi, padahal belum tentu besok engkau akan mendapatkan yang lebih baik daripada hari ini.
Saat engkau menemui udara pagi ini cerah, langit hari ini biru indah, mengapa sibuk mencemaskan hujan yang tak kunjung datang? Padahal kalau saja kau nikmati adanya tanpa kesahpastilah kau dapat mengerjakan begitu banyak kegiatan dengan penuh kegembiraan. Maka nikmatilah, jangan malah resah memikirkan hujan yang tak kunjung tumpah. Karena jika kau tak menikmatinya, maka saat tiba masanya hujan menggenangi tanahmu, kau pun kan kembali resah memikirkan kapan hujan berhenti.
Percayalah, semua ini akan berlalu, maka mengapa harus memikirkan sesuatu yang tak ada, namun suatu saat pasti akan hadir jua? Sedang hal itu hanya akan membuat kita kehilangan keindahan hari ini karena mencemaskan sesuatu yang belum pasti.
Saat engkau memiliki sebuah pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, meski tak sesuai dengan yang kau inginkan, mengapa mesti kesal dan membayangkan pekerjaan ideal yang jauh dari jangkauan? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang kau miliki, tentu akan lebih mudah menjalani.
 
Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat kau dapatkan apa yang kau inginkan, ternyata tak seindah yang kau bayangkan.
 
Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, kau akan menyesal, ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat tak kau nikmati.
Maka nikmatilah, dan jangan habiskan waktumu dengan mengeluh dan menginginkan yang tidak ada.
 
Maka nikmatilah, karena suatu saat, semua ini pun akan berlalu.
Maka nikmatilah, jangan sampai kau kehilangan nikmatnya dan hanya mendapatkan getirnya saja.
 
Maka nikmatilah dengan bersyukur dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna. Maka nikmatilah karena ia akan menjadi milikmu apa adanya dan hanya saat ini saja. Sedang besok bisa jadi semua telah berganti.
Jika hari ini engkau menderita, maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu, jangan biarkan dia pergi, kemudian ketika kau harus lebih menderita suatu saat nanti, engkau tidak sanggup menahannya.
 
Maka nikmatilah rasa sedihmudengan mengenang kesedihan yang lebih dalam yang pernah kau alami. Dengan membayangkan kesedihan yang lebih memar pada hari akhir nanti jika kau tak dapat melewati kesedihan kali ini.

Dengan menemukan penghapus dosa pada musibah yang kau alami kiniMaka nikmatilah rasa galaumu, dengan betafakkur lebih banyak atas permasalahan yang kau hadapi.Dengan memikirkan kedewasaan yang kan kau gapai atas resah dan galau itu. Dengan kematangan yang akan kau miliki setelah berhasil melewati semua ini.
 
Maka nikmatilah rasa marahmudengan kemampuan mengendalikan diri. Dengan memikirkan penggugur dosa yang kan kau dapatkan. Dengan mendapatkan kemenangan atas diri pribadi yang tak semua orang dapat lakukan.
Maka nikmatilahdengan berpikir positif atas apa pun yang kau jalani, atas apapun yang kau hadapai, atas apapun yang kau terima, karena dengan begitu engkau akan bahagia.
 
Maka nikmatilahkarena ini pun akan berlalu jua.
Maka nikmatilahkarena rasa puas dan syukur atas apa yang telah kita raih akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaanSedang ketidakpuasan hanya akan melahirkan penderitaan.
 
Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, agar engkau tidak kehilangan hikmah dan keindahannyasaat segalanya telah tiada.
Maka nikmatilahagar tak hanya derita yang tersisa saat semua telah berakhir jua.


07 Februari 2011

Buah Kesabaran Dan Kesedihan

Pada suatu hari seekor anak kerang di dasar laut mengaduh dan mengaduh pada ibunya, sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.
“Anakku…,” kata sang ibu sambil bercucuran air mata.
“Tuhan tidak memberikan pada kita bangsa kerang sebuah tangan pun sehingga ibu tak bisa menolongmu. Aku tahu anakku, itu sakit sekali, tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu, jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu, karena hanya itu yang bisa kau perbuat,” kata ibunya dengan sendu dan lembut.
Anak kerang pun melakukan nasehat bundanya, memang ada hasilnya. Tetapi rasa sakit bukan kepalang, kadang di tengah kesakitannya, ia ragukan nasehat ibunya. Dengan air mata ia bertahan bertahun-tahun lamanya.

Tetapi tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya, makin lama makin halus, rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar, rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Hingga akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna.

Penderitaannya berubah menjadi mutiara, air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini sebagai hasil derita bertahun-tahun lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang Cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

Cerita ini adalah sebuah paradigma yang menjelaskan bahwa “kerang biasa” menjadi “kerang luar biasa”. Bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah “orang biasa” menjadi orang luar biasa”. Jadi, jika anda sedang menderita hari ini, apa pun sebabnya, bersiap-siaplah menjadi “orang luar biasa”. 

Written by Dr. H. K. Suheimi