Kerang, bukan karang. Tidak berkaitan dengan pengarang. Juga dengan sastrawan. Apalagi esais atau budayawan. Jauh.
Tidak perlu juga muluk2 dalam berpikir. Yang aku sebutkan tadi semata2 hanya kerang – terdiri dari susunan huruf2 sederhana, k-e-r-a-n-g, dan dibaca secara sederhana pula, menjadi ke-rang
Namun bila di antara kalian, ada yang belum juga mengerti apa dan bagaimana kerang yang kumaksudkan, baiklah, kugambarkan demikian.
Dia seperti dua belahan batu karang, yang saling mengatup penuh keras kepala. Berwarna putih namun dengan sisik di bagian luarnya, seakan butiran garam yang masih tertinggal setelah bergesekan dengan buih laut yang asin. Sisiknya sendiri tidak lagi meninggalkan rasa asin, hanya goresan2 yang mampu menimbulkan rasa perih pada lembutnya jemari yang mencoba membuka cangkangnya.
Kuku jemari yang telah ter-manicure rapi pun somplak.
Jangan coba2 tanyakan makna kuku jemari yang telah somplak, karena hal itu sungguh menyakitkan. Dan mengapa aku menggunakan kata somplak, karena aku tidak lagi hendak memasung makna kata, yang terkadang dengan palang pasungannya, menjadikannya tidak lagi berpadanan makna yang serba nyata
Di dalamnya kutemukan segumpal darah berwarna merah yang telah menjadi daging. Ada rambutnya yang berwarna hitam. Barangkali itulah mengapa mereka memanggilnya dara.
Dara …..
Cangkang bagian dalamnya halus dan berwarna putih, sehalus dan seputih kasih sayang yang didambakan makhluk manusia di hari2 mereka merayakan kasih sayang.
Kini perayaan mereka tidak lagi putih. Di mana2 hanya warna merah, yang dipersembahkan dalam bentuk2 mawar penuh duri.
Kasar kulit cangkang itu telah melukaiku. Membuat somplak kuku jemariku. Dan aku marah. Demikian tingginya kolestrol yang disumbangkannya padaku sehingga dengan cepat darahku naik hingga ubun2 kepala.
Kulempar kerang yang tidak berhasil kubuka itu dari tanganku. Kerang itu menghantam lantai, masih tidak terbuka. Lalu aku menjadi semakin marah, …. dan menangis.
Ch1ll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar